Nasib Belum Mujur Bangsa Uighur

uyghur-nation-web
Judul buku: Uyghur Nation
Pengarang : David Brophy
Penerbit     : Harvard University Press, AS
Tebal           : xiii + 347 halaman
Cetakan     : Pertama, Agustus 2016

SURAM nian nasib bangsa Uighur di Xinjiang, Cina. Teror politik rezim Beijing tak pernah surut. Menikam warga Uighur, menebar horor. Bagi rezim Beijing durjana, warga Uighur perlu dibuat sengsara. Caranya bisa beraneka, mulai dari pengawasan sampai pelarangan. Mulai dari imbauan sampai bentakan. Tindak represif sudah tak terhitung, aparat komunis Cina main pentung. Dalam benak rezim kolot Beijing, tak ada damai untuk Uighur. Propaganda hitam pun disebar rezim lancung itu. Dunia internasional hanya diberi kabar palsu soal Uighur. Tiap warga Uighur yang tak sejalan dengan rezim Beijing, bisa dipastikan bakal dicap teroris.   

Melalui penyatuan sumber-sumber sekunder dan primer dalam berbagai bahasa, buku ini hadir sebagai sumber utama melihat bangsa Uighur. Penulis buku ini adalah pengajar sejarah Cina modern di Universitas Sydney. Ia berulang kali mengunjungi kawasan Xinjiang untuk riset. Dan, buku yang ditulisnya selama beberapa waktu ini merupakan hasil riset di lapangan. Memang tidak mudah menembus blokade aparat Cina komunis yang ogah membuka kawasan Xinjiang, kecuali untuk kepentingan tertentu. Bangsa Uighur yang sudah mendiami kawasan itu selama beberapa abad pun harus sabar menghadapi kenyataan pahit tersebut. Rezim biadab Cina menggunakan taktik isolasi terhadap masyarakat Uighur. Melalui taktik ini, rezim licik Beijing berusaha melokalisir berbagai tuntutan wajar masyarakat Uighur yang ingin hidup bebas dan nyaman.

Uighur merupakan bangsa yang hidup di perbatasan Cina dan Rusia. Sebagian dari mereka tinggal di kawasan Rusia, sebagian besar lagi menetap di kawasan Xinjiang Cina. Mereka berbahasa Turki dialek Uighur, namun mereka rata-rata juga mahir berbahasa Cina. Nenek moyang mereka sudah sangat akrab dengan kegiatan politik, dinamika regional serta denyut revolusi. Ketika pecah revolusi Rusia di awal abad ke-20, beberapa warga Uighur juga terlibat dalam revolusi tersebut. Mereka mendukung revolusi yang menjanjikan sama rasa sama rata itu. Meski pada kurun berikutnya, kediktatoran Kremlin justru terus berupaya menggerus ekspresi politik warga Uighur. Dalam gerak revolusi Cina pun, sejumlah warga Uighur ikut berada di dalamnya. Mereka terseret ke dalam pusaran revolusi, yang kemudian ternyata rezim Peking melibas aspirasi Uighur.

Buku ini memuat delapan bab ditambah dengan pendahuluan. Ditulis dengan gaya bahasa sederhana mudah dipahami, enak dibaca, kaya data. Terdapat 17 foto dan tiga peta termaktub di dalam buku ini. Bagi penulis, ketiga peta yang tersaji itu bisa menunjukkan bagaimana dinamika serta perkembangan kewilayahan Uighur, baik pada masa dinasti Qing maupun pada era sesudahnya. Umumnya, warga Uighur masih menyimpan dengan baik ingatan kolektif masa lalu mereka, tatkala menghadapi dinasti Cina yang besar. Sejarah hubungan ini memperlihatkan keikutsertaan warga Uighur dalam membangun dinasti tersebut, dengan imbalan terwujudnya harapan kebebasan dalam menentukan masa depan sendiri. Dinasti Cina dan kekaisaran Rusia telah memanfaatkan potensi masyarakat Uighur yang suka bekerja keras, cekatan serta terampil dalam beberapa pekerjaan.

Dibanding sikap kaku kekaisaran Rusia, dinasti Qing Cina justru lebih realistis dalam melihat fenomena dunia Islam. Termasuk dalam melihat kenyataan masyarakat Uighur yang mayoritas muslim serta kekaisaran Usmaniyah. Rusia selalu menganggap diri sebagai pelindung Kristen ortodoks dan kepentingan bangsa Slavia. Hal itu tampak dalam upaya-upaya ekspansif kekaisaran Rusia ke Laut Hitam, Kaukasus dan Balkan. Upaya ini telah mencetuskan perang sampai bertahun-tahun lawan kesultanan Turki Usmaniyah, dan ketegangan menghadapi bangsa Uighur. Sebaliknya, imperium Qing Cina melihat dunia muslim tidak homogen, melainkan heterogen. Selain tampak muslim yang kaku, selalu tampil pula muslim yang luwes seperti kaum sufi. Penulis buku ini mencatat bahwa sejumlah pejabat dinasti Qing punya koneksi kuat ke komunitas sufi yang menganggap kesultanan Turki Usmaniyah sebagai khalifah umat muslim.

Penulis buku ini juga mencatat, bahwa pertemuan kekaisaran Rusia dan Qing pada abad kesembilan belas memiliki konsekuensi dramatis bagi komunitas Muslim di Asia Tengah. Sepanjang kawasan perbatasan ini, sebuah ruang politik baru muncul. Ruang ini dibentuk oleh persaingan atas loyalitas kekaisaran dan spiritual. Selain itu, juga akibat dari hubungan ekonomi dan sosial lintas batas, dan revolusi yang melanda Rusia dan China pada awal abad kedua puluh. Tak pelak, David Brophy benar-benar mengeksplorasi bagaimana sebuah komunitas Muslim Asia Tengah merespons perubahan bersejarah, lalu timbul upaya menciptakan diri mereka sebagai bangsa Uighur modern. Keyakinan diri sebagai sebuah bangsa ini kemudian melekat kuat berkat upaya pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meski, rezim Beijing hingga saat ini terus berupaya menyangkal kehadiran Uighur sebagai sebuah bangsa.

Identitas Uighur sudah dikenal dalam diaspora Muslim dari provinsi barat laut China Xinjiang sampai menyebar ke wilayah Rusia. Identitas ini terjerat pada wacana pembebasan nasional dan komunikasi transnasional di kalangan umat Islam Rusia. Sebagai contoh, dalam hingar-bingar Revolusi Bolshevik, retorika identitas kebangsaan Uighur muncul sebagai titik penyatu. Sebuah pergeseran aliansi dari sekadar konstituen pengusung gagasan bangsa Uighur menuju ke upaya pengamanan tempat untuk dirinya sendiri di kawasan Asia Tengah yang dikuasai Uni Sovyet. Meskipun keberadaannya ditentang dalam beragam fraksi politik dari tahun 1920-an, pada tahun 1930 bangsa Uighur mendapat pengakuan resmi di Uni Soviet dan Cina. Didasarkan pada arsip dari seluruh Eurasia, bangsa Uighur telah memberi warna khas atas sejarah dan identitas Xinjiang. Ibaratnya, Uighur diakui sebagai sebuah bangsa, tapi kiprah bangsa ini acap dicurigai, dihambat bahkan dihalangi oleh rezim Beijing.***

(Rosdiansyah, periset pada The Center for Statecraft and Citizenship Studies, Surabaya)

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar