Buku dan Resensinya

BARANGKALI, sebagian kita menganggap sebuah buku sudah menjelaskan isinya dengan baik. Jika ingin tahu isi buku tersebut, tinggal baca saja. Tidak perlu membaca resensinya. Sering diperbandingkan, antara buku dan resensi atas buku tersebut. Bahkan, acap pula diperseberangkan, antara buku dan resensinya. Tak pelak, resensi pun kerap dicurigai sebagai upaya menaikkan atau menurunkan derajat isi buku. Penilaian pembaca terhadap sebuah resensi buku memang bisa beragam, apalagi sudah ada anggapan bahwa resensi buku belum tentu mewakili keseluruhan gagasan penulis buku tersebut.

Membongkar gagasan penulis buku memang tidak mudah. Dibutuhkan keuletan diperlukan kejelian. Tidak boleh sembarangan, ikuti terus inti gagasan. Tiap penulis punya cara unik dalam meletakkan gagasan ini. Bisa di awal kalimat pembuka, bisa pula di tengah paragraf atau di akhir alinea. Untuk itu, penulis resensi membutuhkan konsentrasi lumayan tinggi. Terutama jika sudah masuk ke dalam kalimat-kalimat penjelas dalam satu paragraf yang punya kaitan solid dengan argumen inti. Untuk menghindari penjiplakan, maka perlu dihindari upaya sekadar mengutip kalimat penjelas tersebut. Akan lebih baik, bila peresensi mencari lalu menemukan penjelasan lain yang serupa dengan penjelasan penulis buku.

Dari situ, peresensi bisa membangun kritik terhadap buku. Kritik ini merupakan bagian dari keseluruhan timbangan atau penilaian peresensi atas buku yang diresensinya. Tidak ada kata haram bagi peresensi untuk mengkritik sebuah buku. Bahkan, dari kritik itu, pembaca resensi bisa diajak untuk memperluas spektrum penilaian atas sebuah buku. Inilah nilai tambah sebuah resensi, yang tidak sekadar memuji isi atau posisi buku dalam percaturan tema-tema serupa. Ketika buku diterbitkan, maka ia kemudian berada dalam penilaian publik atas buku tersebut. Penulis memang berkuasa penuh atas isi buku, namun tafsir atas buku itu menjadi domain publik. Peresensi hanyalah memberi penilaian atas buku tersebut.

Sehingga meresensi sebuah buku, boleh dipandang sebagai upaya reflektif sang peresensi. Ibarat cermin, resensi buku merupakan cermin sekaligus timbangan atas buku tersebut. Bila peresensi begitu kritis menilai sebuah buku, maka sesungguhnya peresensi itu sangat menghayati buku yang diresensinya. Kritik apalagi korektif pada sebuah buku merupakan masukan untuk penulis buku tersebut. Bahwa ada sudut pandang lain yang perlu dipertimbangkan, meski apakah kemudian buku itu butuh direvisi atau tidak, sepenuhnya menjadi kekuasaan penulis buku.

Resensi tidak mewakili keseluruhan isi buku. Itu jelas, tak perlu diperdebatkan. Sebab, dalam sebuah buku selalu termaktub tema pokok dan argumen penulis. Resensi merupakan usaha mengajak siapapun agar memperhatikan buku sebagai media peningkatan literasi. Walau bukan merupakan representasi dari keseluruhan isi buku, timbangan terhadap buku itu bisa menjadi pemikat literasi bagi pembaca. Bisa jadi, pembaca kesulitan memasuki argumen-argumen buku atau memahami uraian penulis, maka resensi terhadap buku setidaknya bisa sedikit membantu guna memahami arah dan argumen yang dibangun penulis buku. Namun demikian, sekali lagi, janganlah beranggapan bahwa resensi merupakan abstraksi dari buku yang diresensi, sebab pada intinya, resensi sepenuhnya pandangan reflektif peresensi atas sebuah buku.

Buku yang baik tentu saja buku berisi uraian yang mudah dicerna gampang dipahami. Kadang ada penulis buku yang kesulitan menyampaikan gagasannya dengan baik, kalimatnya susah dipahami, argumennya tidak solid. Namun, justru seringkali penulis buku begitu bagus menuangkan gagasannya. Seakan ia membuat pembaca buku selalu lekat pada apa yang ditulisnya. Dari sini, ada tantangan bagi seorang peresensi buku. Tentu saja, sesulit apapun, peresensi harus membaca isi buku dengan baik, lalu mengambil intisari apa yang dituliskan penulis buku.

Meresensi buku merupakan cara menimbang buku. Selain menelusuri isi buku, akan lebih baik jika juga mengaitkan isi buku tersebut pada peristiwa aktual yang terjadi. Dari halaman pertama sampai halaman akhir dari buku, penulis biasanya meletakkan argumennya tidak harus di halaman-halaman awal. Argumen itu bisa pula berada pada halaman tengah atau akhir. Oleh karena itu, peresensi harus jeli membaca dimana letak argumen tersebut. Kejelian ini tidak harus berupa cuplikan kalimat penulis buku, tapi boleh pula merupakan refleksi dari peresensi. ***

(Rosdiansyah, peresensi buku di Surabaya)

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar